Selasa, 26 Maret 2013



Persaingan dalam dunia bisnis yang semakin ketat menuntut sebuah perusahaan untuk mempunyai daya saing yang kuat. Pengelolaan perusahaan dengan menerapkan perencanaan keuangan yang baik dapat menjadi salah satu indikator untuk memenangkan persaingan tersebut. Hal ini menyebabkan perusahaan selalu berusaha menyajikan laporan keuangan yang menarik bagi para pengguna laporan keuangan dengan cara melakukan perekayasaan laba atau manajemen laba. Penelitian mengenai manajemen laba pada umumnya menggunakan akrual sebagai variabel yang mencerminkan manajemen laba. Variabel akrual dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu akrual diskresioner dan non diskresioner.
Akrual diskresioner (discretionary acccrual) telah banyak digunakan sebagai pengukur manajemen laba seperti Wedari (2004), Veronika dan Utama (2005), Boediono (2005), Kusumawati (2005), Rahmawati dkk (2006), Nasution dan Setiawan (2007), Nugroho dan Trisnawati (2011). Akan tetapi, penggunaan model akrual diskresioner menuai banyak kritikan karena adanya  kesalahan dalam pengklasifikasian total akrual ke dalam bentuk akrual diskresioner atau non diskresioner.
Menurut Yulianti (2005) kesalahan dalam memprediksi dilakukan atau tidaknya manajemen laba oleh suatu perusahaan dapat menyebabkan kesalahan dalam menilai kualitas laba perusahaan sehingga akan berakibat bias di dalam menilai kinerja keuangan perusahaan. Beberapa peneliti seperti Philips et al. (2003, 2004), Yulianti (2005), Suranggane (2007), Djamaluddin dkk (2008), Amali (2009), Hamzah (2009), Irreza danYulianti (2010) mencoba mengatasi kelemahan model akrual dengan menggunakan beban pajak tangguhan (deferred tax expense).
Philips et al. (2003) menyatakan bahwa kesalahan dalam model akrual dapat dikurangi dengan lebih menfokuskan pada beban pajak tangguhan dibandingkan dengan membagi total akrual perusahaan menjadi komponen diskresioner dan non diskresioner. Beban pajak tangguhan itu sendiri timbul akibat perbedaan antara pelaporan laba akuntansi dengan laba fiskal. Perbedaan itu menunjukkan adanya penggunaan kebijakan akuntansi yang berbeda pula. Dengan demikian beban pajak tangguhan dapat dijadikan indikator adanya praktek manajemen laba.
Selanjutnya Philips et al. (2004) memecah komponen beban pajak tangguhan ke dalam 8 komponen yaitu (1) akrual dan pencadangan atas pendapatan dan beban, (2) kompensasi terkait dengan  kewajiban pasca imbalan kerja, (3) depresiasi aset berwujud, (4) penilaian aset lainnya, (5) poin lain-lain, (6) unrealized gains or loses from securities, (7) tax carryforwards, (8) valuation allowance account. Penelitian tersebut membuktikan bahwa beban pajak tangguhan,akrual dan komponen yang terkandung dalam beban pajak tangguhan dapat digunakan untuk menganalisis ada tidaknya praktik manajemen laba untuk menghindari penurunan laba dan menghindari kerugian.
Pemerintah mulai menerapkan tarif  pajak tunggal bagi wajib pajak badan dengan tarif sebesar 28% pada tahun 2009 dan tarif 25% pada tahun 2010 untuk menggantikan tarif  pajak progresif yang selama ini berlaku. Selain itu, bagi perusahaan masuk bursa (go public) yang kepemilikan saham publiknya 40% dan paling sedikit saham tersebut dimiliki oleh 300 pihak diberikan penurunan tarif  sebesar 5% dari tarif normal. Perusahaan yang memiliki omset sampai dengan  Rp 50 miliar dalam satu tahun juga mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif PPh sebesar 50% dari tarif PPh yang berlaku. Pemotongan tarif tersebut berlaku untuk penghasilan kena pajak dari bagian omset sampai dengan Rp 4,8 miliar.
Berdasarkan uraian di atas masalah yang akan diteliti selanjutnya dirumuskan sebagai berikut: apakah  beban pajak tangguhan dan komponen pembentuk pajak tangguhan dapat digunakan dalam mendeteksi manajemen laba untuk menghindari kerugian yang dilakukan perusahaan saat penerapan tarif pajak progresif dan tunggal, dan apakah terdapat perbedaan tingkat beban pajak tangguhan, akrual, dan komponen pembentuk pajak tangguhan dalam mendeteksi manajemen laba untuk menghindari kerugian yang dilakukan perusahaan saat penerapan tarif pajak progresif dan tunggal.
Tujuan penelitian ini adalah menguji bahwa beban pajak tangguhan dan komponen pembentuk pajak tangguhan dapat digunakan dalam mendeteksi manajemen laba untuk menghindari kerugian saat penerapan tarif progresif dan tunggal. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menguji bahwa terdapat perbedaan tingkat beban pajak tangguhan, akrual, dan komponen pembentuk pajak tangguhan dalam mendeteksi manajemen laba untuk menghindari kerugian saat penerapan tarif pajak progresif dan tunggal.
A.    Kerangka Teoritis dan Pengembangan Hipotesis
Pendekatan yang digunakan dalam akuntansi pajak penghasilan di Indonesia adalah pendekatan asset liability method yang diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 46. Selain pengakuan kewajiban pajak masa kini (current tax liability), pendekatan ini mengatur pengakuan efek pajak masa depan (future tax effect) yang timbul akibat perbedaan laba rugi fiskal dengan laba rugi akuntansi. Perbedaan yang terjadi tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu :
a.       Perbedaan Permanen adalah perbedaan yang sifatnya tetap, artinya perbedaan ini tidak akan hilang sejalan dengan waktu. Perbedaan ini tidak akan menimbulkan biaya atau pendapatan pajak tangguhan.
b.      Perbedaan Temporer adalah perbedaan yang terjadi akibat perbedaan waktu pengakuan biaya atau pendapatan untuk laba fiskal dan untuk laba akuntansi. Perbedaan ini akan menimbulkan biaya atau pendapatan pajak tangguhan dalam laporan keuangan perusahaan. Perbedaan temporer dibagi menjadi:
1)      Perbedaan temporer kena pajak adalah perbedaan temporer yang mengkibatkan bertambahnya jumlah penghasilan kena pajak di masa yang akan datang. Efeknya dalam laporan keuangan masa kini adalah munculnya kewajiban pajak tangguhan (deffered tax liability).
2)      Perbedaan temporer yang dapat dikurangkan adalah perbedaan temporer yang mengkibatkan berkurangnya jumlah penghasilan kena pajak dimasa yang akan datang. Perbedaan ini menimbulkan aset pajak tangguhan (deferred tax asset).
Aset pajak tangguhan dan kewajiban pajak tangguhan sebagaimana dijelaskan di atas ditimbulkan oleh Undang-Undang Pajak Penghasilan yang membatasi penggunaan asumsi dan estimasi dalam penyusunan laporan keuangan. Semakin banyak asumsi dan estimasi yang digunakan manajemen dalam penyusunan laporan keuangan komersial menyebabkan semakin besarnya perbedaan yang terjadi antara laba komersial dan laba fiskal. Semakin besarnya perbedaan tersebut merupakan isyarat bagi investor untuk lebih berhati-hati dalam menginterpretasikan laporan keuangan. Hal ini dikarenakan perbedaan tersebut dapat  mengindikasikan adanya perekayasaan laba atau manajemen laba yang dilakukan oleh suatu perusahaan.
Penelitian ini mengacu pada penelitian Yulianti (2005)  yang menyatakan bahwa fenomena manajemen laba hanya terjadi pada distribusi laba (tidak pada distribusi perubahan laba), maka penelitian ini hanya menguji manajemen laba untuk menghindari kerugian. Apabila laba perusahaan i pada tahun t dibagi dengan market value of equity pada akhir tahun t-1 berada dalam range 0 - 0,06 dikategorikan sebagai small profit firms sedangkan perusahaan yang berada dalam range -0,09-0 dikategorikan sebagai small loss firms.
Langkah pertama dalam penelitian ini adalah menginvestigasikan apakah beban pajak tangguhan pada penelitian Philips et al. (2003), Yulianti (2005), Djamaluddin dkk (2008), Amali (2009),  Hamzah (2009) berguna dalam mendeteksi manajemen laba untuk menghindari kerugian secara signifikan. Berdasarkan PSAK 46 total perubahan dalam kewajiban pajak tangguhan bersih sama dengan beban pajak tangguhan periode yang bersangkutan pada perusahaan-perusahaan yang tidak mengalami merger, akuisisi, dan pelepasan usaha perusahaan, atau melaporkan item-item laba komprehensif lainnya. Maka, hipotesis pertama yang diuji dalam penelitian ini adalah:
H1a       : Beban pajak tangguhan berpengaruh terhadap manajemen laba untuk  menghindari kerugian saat penerapan tarif pajak progresif.
H1b     : Beban pajak tangguhan berpengaruh terhadap manajemen laba untuk       menghindari kerugian saat penerapan tarif pajak tunggal.
Langkah selanjutnya adalah menfokuskan pada komponen pembentuk pajak tangguhan. Penelitian ini menggunakan pengungkapan perusahaan sesuai kategori pertama Philips et al. (2004) seperti dalam penelitian Irreza dan Yulianti (2010) yaitu: (1) akrual dan pencadangan atas pendapatan dan beban, (2) kompensasi, (3) depresiasi atas aset berwujud, (4) penilaian aset lainnya dan (5) poin lain-lain. Kelima item tersebut umumnya membuat laba akuntansi sebelum pajak menjadi lebih besar daripada laba fiskal. Oleh karena itu, hipotesis yang akan diuji adalah:
H2 a      : Komponen Pembentuk Pajak Tangguhan berpengaruh terhadap manajemen laba untuk menghindari kerugian saat penerapan tarif pajak progresif.
H2 b      : Komponen Pembentuk Pajak Tangguhan berpengaruh terhadap manajemen laba untuk menghindari kerugian saat penerapan tarif pajak tunggal.
Philips et al. (2004) dalam  mengansumsikan bahwa manajemen laba yang berusaha memaksimalkan laba tanpa meningkatkan biaya terkait perpajakan, tidak mempunyai dampak pada laba menurut perpajakan, sehingga tidak akan mempengaruhi tax carryforward. Hal yang sama juga terkait dengan unrealized gains and loses from securities. Selanjutnya, komponen valuation allowance account, yang merupakan metode pencadangan aset pajak tangguhan perusahaan, tidak diwajibkan oleh PSAK 46, maka komponen tersebut tidak relevan untuk digunakan dalam perusahaan-perusahaan yang berada di Indonesia. Dengan alasan tersebut, penelitian ini hanya menggunakan 5 komponen tersebut.  
Perubahan lapisan kena pajak dan tarif pajak dari  progresif menjadi tunggal dapat menjadi peluang bagi manajemen dalam melakukan perekayasaan laba atau manajemen laba. Oleh karena itu, penelitian ini juga mengambil hipotesis :
H3  :  Ada perbedaan tingkat beban pajak tangguhan, akrual, dan komponen    pembentuk pajak tangguhan dalam mendeteksi manajemen laba untuk menghindari kerugian saat penerapan tarif pajak progresif dan tunggal
Menurut Watts dan Zimmerman (1986) perusahaan besar lebih cenderung untuk melakukan manajemen laba daripada perusahaan perusahaan kecil. Perusahaan besar melakukan manajemen laba agar laba yang dilaporkan dapat menunjukkan hasil yang stabil atau mengalami kenaikan terus menerus agar sesuai dengan tuntutan dan  harapan  publik atau stakeholders

Model Penelitian

Pengujian hipotesis 1 dengan model regresi logistik adalah sebagai berikut:
              Keterangan :
   = 1 jika perusahaan berada dalam range small profit firms
                    0 jika perusahaan berada dalam range small loss firms
= Deferred Tax Expense (Beban Pajak Tangguhan) perusahaan i pada tahun t, dibagi dengan total aset pada akhir tahun t-1
=  Ukuran  Akrual perusahaan berdasarkan model Modified Jones.
=  Ukuran  Perusahaan yang diukur dengan logaritma natural    dari nilai total aset perusahaan i pada tahun t
           =  Error Item

Selanjutnya model penelitian untuk menguji hipotesis 2 adalah sebagai berikut:

Keterangan :
    =  1 jika perusahaan berada dalam range small profit firms
              0  jika perusahaan berada dalam range small loss firms
     =  Deferred Tax Expense terkait akrual dan pencadangan.
=  Deferred Tax Expense terkait kompensasi.
    =  Deferred tax Expense terkait metode depresiasi.
    =  Deferred tax Expense terkait penilaian aset lainnya.
  =  Deferred Tax Expense tidak termasuk dalam kategori di atas, dan tidak termasuk tax carryforward, unrelized gains, & losses.
=   Ukuran  Perusahaan yang diukur dengan logaritma natural dari nilai total aset perusahaan i pada tahun t
                                  =   Error Item

A.    Metodologi Penelitian

1.      Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini adalah seluruh perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama periode 2006 -2011. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling. Kriteria yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah (a) Semua perusahaan manufaktur  yang terdaftar di BEI dan mempublikasikan laporan keuangan yang berakhir setiap  tanggal 31 Desember dari tahun 2006-2011(b) Perusahaan emiten tersebut tidak melakukan merger, akuisisi, dan perubahan usaha lainnya (divestitures) selama tahun 2006-2011 (c) Laporan keuangan menggunakan satuan mata uang Indonesia.
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data kuantitaf yang terdiri dari total aset, piutang, aset (kewajiban) pajak tangguhan, laba bersih sebelum pos luar biasa, pos luar biasa, aset tetap, arus kas, pendapatan , beban pajak tangguhan dan komponen pembentuk pajak tangguhan yang terdiri atas (1) akrual dan pencadangan atas pendapatan dan beban (2) kompensasi (3) depresiasi (4) penilaian aset lainnya dan (5) poin lain-lain. Selain itu juga diperlukan data mengenai jumlah saham yang beredar dan harga saham akhir tahun. Data tersebut diperoleh melalui ICMD, www.idx.co.id dan Annual Report untuk masing-masing perusahaan.
2      

Jumat, 12 Agustus 2011

Setiap negara diseluruh dunia begitu menekankan pada pendidikan. Apabila peringkat pendidikan suatu negara tinggi dapat dikatakan apabila negara terse

Setiap negara diseluruh dunia begitu menekankan pada pendidikan. Apabila peringkat pendidikan suatu negara tinggi dapat dikatakan apabila negara tersebut sudah maju. Upaya-upaya yang sudah dilakukan pemerintah dalam hal pendidikan diantaranya adalah dengan menyisihkan 20% dari APBN untuk anggaran pendidikan, membuat Undang-Undang Guru dan Dosen, Sertifikasi Guru, Program Pendidikan Guru, serta pelaksanaan Ujian Nasional yang sampai dengan saat ini masih menjadi kontroversional.

Berdasarkan data Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011 yang dikeluarkan UNESCO tanggal 1 Maret 2011 menyatakan bahwa Indeks Pembangunan Pendidikan Indonesia menempati peringkat 69 dari 127 negara. Padahal tahun sebelumnya, Indonesia berada pada peringkat 65. Hal ini tentunya mengecewakan bagi kita semua. Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia dikarenakan adanya something wrong dalam sistem pendidikan di Indonesia.

Fokus utama yang harus diperbaiki di dunia pendidikan saat ini adalah dengan menyadari bahwa masalah pendidikan yang ada merupakan tanggung jawab kita bersama bukan hanya merupakan tanggung jawab pemerintah saja. Pendidikan yang baik dapat dicapai apabila ada dukungan dari pihak sekolah, pemerintah, masyarakat, dan keluarga. Dengan tetap menjalankan program pemerintah sebelumnya,adapun 8 langkah selanjutnya yang dapat diambil untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah:

1. Perbaikan Basis Data

Memperbaiki basis data mengenai siapa saja yang berhak menerima bantuan dana BOS sehingga bantuan yang diberikan tidak akan salah sasaran dan melakukan pengawasan mengenai pertanggungjawaban penggunaan dana BOS tersebut. Adanya control yang baik dari pemerintahan dapat memperkecil kesempatan para oknum dalam melakukan tindakan korupsi.

2. Penetapan Sistem Pendidikan Yang Baku

Sudah saatnya tidak perlu merubah-ubah jenis kurikulum yang ada. Perubahan kulikulum yang sering dilakukan membuat ketidakpastian bagi para pengajar dalam mengajar dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit.

3. Meningkatkan akses terhadap masyarakat untuk dapat menikmati pendidikan.

Dilakukan dengan memperbanyak infrastruktur yang dapat menunjang pendidikan. Seperti membangun perpusatakaan dengan fasilitas yang memadai dan menambah computer serta mempermudah akses internet (adanya free hot spot area ). Selain itu juga dapat mengadakan perpustakaan keliling.

4. Meningkatkan kualitas pendidikan

Dilakukan dengan meningkatkan kualitas pengajar seperti dengan cara meningkatkan kesejahteraannya. Pengajar yang dipilih tidak hanya pintar dalam hal akademis akan tetapi juga harus memiliki kompetensi mengajar dengan cara yang kreatif dan inovatif sehingga tidak membuat bosan para peserta didik.

5. Memperkecil ketimpangan kesejahteraan antara guru negeri dan guru swasta

Pemerintah juga harus memperhatikan kesejahteraan para guru swasta agar tidak terjadi kesenjangan sosial karena bagaimana pun peran mereka sama besarnya bagi pendidikan

6. Mengadakan program pemerataan kualitas pendidikan bagi setiap warga negara

Program ini lebih difokuskan untuk daerah-daerah tertinggal yang dapat dilakukan dengan cara membangun sekolah-sekolah dengan fasilitas yang memadai sehingga membuat peserta didik nyaman dalam menimba ilmu sehingga akan menambah tingkat kreatifitas siswa.

7. Meningkatkan prestasi peserta didik

Dilakukan dengan cara mengikuti perlombaan di tingkat internasional dan memperbanyak bimbingan dalam hal penelitian agar dapat menciptakan terobosan-terobosan baru bagi kemajuan bangsa.

8. Menambah jumlah jenis pendidikan dalam bidang kompetensi

Seperti menambah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sehingga akan menghasilkan lulusan yang siap bekerja. Hal ini dikarenakan saat ini struktur perekonomian Indonesia saat ini sudah mulai bergeser menuju sektor ekonomi sekunder dimana sektor industri lebih mendominasi sehingga membutuhkan Sumber Daya Manusia yang terampil.