Persaingan dalam dunia bisnis yang
semakin ketat menuntut sebuah perusahaan untuk mempunyai daya saing yang kuat.
Pengelolaan perusahaan dengan menerapkan perencanaan keuangan yang baik dapat
menjadi salah satu indikator untuk memenangkan persaingan tersebut. Hal ini
menyebabkan perusahaan selalu berusaha menyajikan laporan keuangan yang menarik
bagi para pengguna laporan keuangan dengan cara melakukan perekayasaan laba
atau manajemen laba. Penelitian mengenai manajemen laba pada umumnya
menggunakan akrual sebagai variabel yang mencerminkan manajemen laba. Variabel
akrual dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu akrual diskresioner dan non
diskresioner.
Akrual diskresioner (discretionary acccrual) telah banyak
digunakan sebagai pengukur manajemen laba seperti Wedari (2004), Veronika dan
Utama (2005), Boediono (2005), Kusumawati (2005), Rahmawati dkk (2006),
Nasution dan Setiawan (2007), Nugroho dan Trisnawati (2011). Akan tetapi,
penggunaan model akrual diskresioner menuai banyak kritikan karena adanya kesalahan dalam pengklasifikasian total akrual
ke dalam bentuk akrual diskresioner atau non diskresioner.
Menurut Yulianti (2005) kesalahan
dalam memprediksi dilakukan atau tidaknya manajemen laba oleh suatu perusahaan
dapat menyebabkan kesalahan dalam menilai kualitas laba perusahaan sehingga
akan berakibat bias di dalam menilai kinerja keuangan perusahaan. Beberapa
peneliti seperti Philips et al.
(2003, 2004), Yulianti (2005), Suranggane (2007), Djamaluddin dkk (2008), Amali
(2009), Hamzah (2009), Irreza danYulianti (2010) mencoba mengatasi kelemahan
model akrual dengan menggunakan beban pajak tangguhan (deferred tax expense).
Philips et al. (2003) menyatakan bahwa kesalahan dalam model akrual dapat
dikurangi dengan lebih menfokuskan pada beban pajak tangguhan dibandingkan
dengan membagi total akrual perusahaan menjadi komponen diskresioner dan non
diskresioner. Beban pajak tangguhan itu sendiri timbul akibat perbedaan antara
pelaporan laba akuntansi dengan laba fiskal. Perbedaan itu menunjukkan adanya
penggunaan kebijakan akuntansi yang berbeda pula. Dengan demikian beban pajak
tangguhan dapat dijadikan indikator adanya praktek manajemen laba.
Selanjutnya Philips et al. (2004) memecah komponen beban
pajak tangguhan ke dalam 8 komponen yaitu (1) akrual dan pencadangan atas
pendapatan dan beban, (2) kompensasi terkait dengan kewajiban pasca imbalan kerja, (3) depresiasi
aset berwujud, (4) penilaian aset lainnya, (5) poin lain-lain, (6) unrealized gains or loses from securities,
(7) tax carryforwards, (8) valuation allowance account. Penelitian
tersebut membuktikan bahwa beban pajak tangguhan,akrual dan komponen yang
terkandung dalam beban pajak tangguhan dapat digunakan untuk menganalisis ada
tidaknya praktik manajemen laba untuk menghindari penurunan laba dan
menghindari kerugian.
Pemerintah mulai menerapkan
tarif pajak tunggal bagi wajib pajak
badan dengan tarif sebesar 28% pada tahun 2009 dan tarif 25% pada tahun 2010
untuk menggantikan tarif pajak progresif
yang selama ini berlaku. Selain itu, bagi perusahaan masuk bursa (go public) yang kepemilikan saham
publiknya 40% dan paling sedikit saham tersebut dimiliki oleh 300 pihak
diberikan penurunan tarif sebesar 5%
dari tarif normal. Perusahaan yang memiliki omset sampai dengan Rp 50 miliar dalam satu tahun juga mendapat
fasilitas berupa pengurangan tarif PPh sebesar 50% dari tarif PPh yang berlaku.
Pemotongan tarif tersebut berlaku untuk penghasilan kena pajak dari bagian
omset sampai dengan Rp 4,8 miliar.
Berdasarkan
uraian di atas masalah yang akan diteliti selanjutnya dirumuskan sebagai
berikut: apakah beban pajak tangguhan
dan komponen pembentuk pajak tangguhan dapat digunakan dalam mendeteksi
manajemen laba untuk menghindari kerugian yang dilakukan perusahaan saat
penerapan tarif pajak progresif dan tunggal, dan apakah terdapat perbedaan
tingkat beban pajak tangguhan, akrual, dan komponen pembentuk pajak tangguhan
dalam mendeteksi manajemen laba untuk menghindari kerugian yang dilakukan
perusahaan saat penerapan tarif pajak progresif dan tunggal.
Tujuan penelitian ini adalah
menguji bahwa beban pajak tangguhan dan komponen pembentuk pajak tangguhan
dapat digunakan dalam mendeteksi manajemen laba untuk menghindari kerugian saat
penerapan tarif progresif dan tunggal. Selain itu, penelitian ini juga
bertujuan untuk menguji bahwa terdapat perbedaan tingkat beban pajak tangguhan,
akrual, dan komponen pembentuk pajak tangguhan dalam mendeteksi manajemen laba
untuk menghindari kerugian saat penerapan tarif pajak progresif dan tunggal.
A.
Kerangka
Teoritis dan Pengembangan Hipotesis
Pendekatan yang digunakan dalam
akuntansi pajak penghasilan di Indonesia adalah pendekatan asset liability method yang diatur dalam Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan Nomor 46. Selain pengakuan kewajiban pajak masa kini (current tax liability), pendekatan ini
mengatur pengakuan efek pajak masa depan (future
tax effect) yang timbul akibat perbedaan laba rugi fiskal dengan laba rugi
akuntansi. Perbedaan yang terjadi tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua
kelompok, yaitu :
a. Perbedaan
Permanen adalah perbedaan yang sifatnya tetap, artinya perbedaan ini tidak akan
hilang sejalan dengan waktu. Perbedaan ini tidak akan menimbulkan biaya atau
pendapatan pajak tangguhan.
b. Perbedaan
Temporer adalah perbedaan yang terjadi akibat perbedaan waktu pengakuan biaya
atau pendapatan untuk laba fiskal dan untuk laba akuntansi. Perbedaan ini akan
menimbulkan biaya atau pendapatan pajak tangguhan dalam laporan keuangan
perusahaan. Perbedaan temporer dibagi menjadi:
1) Perbedaan
temporer kena pajak adalah perbedaan temporer yang mengkibatkan bertambahnya
jumlah penghasilan kena pajak di masa yang akan datang. Efeknya dalam laporan
keuangan masa kini adalah munculnya kewajiban pajak tangguhan (deffered tax liability).
2) Perbedaan
temporer yang dapat dikurangkan adalah perbedaan temporer yang mengkibatkan
berkurangnya jumlah penghasilan kena pajak dimasa yang akan datang. Perbedaan
ini menimbulkan aset pajak tangguhan (deferred
tax asset).
Aset
pajak tangguhan dan kewajiban pajak tangguhan sebagaimana dijelaskan di atas
ditimbulkan oleh Undang-Undang Pajak Penghasilan yang membatasi penggunaan
asumsi dan estimasi dalam penyusunan laporan keuangan. Semakin banyak asumsi
dan estimasi yang digunakan manajemen dalam penyusunan laporan keuangan
komersial menyebabkan semakin besarnya perbedaan yang terjadi antara laba
komersial dan laba fiskal. Semakin besarnya perbedaan tersebut merupakan
isyarat bagi investor untuk lebih berhati-hati dalam menginterpretasikan
laporan keuangan. Hal ini dikarenakan perbedaan tersebut dapat mengindikasikan adanya perekayasaan laba atau
manajemen laba yang dilakukan oleh suatu perusahaan.
Penelitian
ini mengacu pada penelitian Yulianti (2005)
yang menyatakan bahwa fenomena manajemen laba hanya terjadi pada
distribusi laba (tidak pada distribusi perubahan laba), maka penelitian ini
hanya menguji manajemen laba untuk menghindari kerugian. Apabila laba
perusahaan i pada tahun t dibagi dengan market
value of equity pada akhir tahun t-1 berada dalam range 0 - 0,06
dikategorikan sebagai small profit firms
sedangkan perusahaan yang berada dalam range -0,09-0 dikategorikan sebagai small loss firms.
Langkah
pertama dalam penelitian ini adalah menginvestigasikan apakah beban pajak
tangguhan pada penelitian Philips et al.
(2003), Yulianti (2005), Djamaluddin dkk (2008), Amali (2009), Hamzah (2009) berguna dalam mendeteksi
manajemen laba untuk menghindari kerugian secara signifikan. Berdasarkan PSAK
46 total perubahan dalam kewajiban pajak tangguhan bersih sama dengan beban
pajak tangguhan periode yang bersangkutan pada perusahaan-perusahaan yang tidak
mengalami merger, akuisisi, dan pelepasan usaha perusahaan, atau melaporkan
item-item laba komprehensif lainnya. Maka, hipotesis pertama yang diuji dalam
penelitian ini adalah:
H1a : Beban pajak tangguhan berpengaruh
terhadap manajemen laba untuk menghindari
kerugian saat penerapan tarif pajak progresif.
H1b : Beban pajak tangguhan berpengaruh
terhadap manajemen laba untuk menghindari
kerugian saat penerapan tarif pajak tunggal.
Langkah
selanjutnya adalah menfokuskan pada komponen pembentuk pajak tangguhan. Penelitian
ini menggunakan pengungkapan perusahaan sesuai kategori pertama Philips et al. (2004) seperti dalam penelitian
Irreza dan Yulianti (2010) yaitu: (1) akrual dan pencadangan atas pendapatan
dan beban, (2) kompensasi, (3) depresiasi atas aset berwujud, (4) penilaian
aset lainnya dan (5) poin lain-lain. Kelima item tersebut umumnya membuat laba
akuntansi sebelum pajak menjadi lebih besar daripada laba fiskal. Oleh karena
itu, hipotesis yang akan diuji adalah:
H2 a : Komponen Pembentuk Pajak Tangguhan
berpengaruh terhadap manajemen laba untuk menghindari kerugian saat penerapan
tarif pajak progresif.
H2 b : Komponen Pembentuk Pajak Tangguhan
berpengaruh terhadap manajemen laba untuk menghindari kerugian saat penerapan
tarif pajak tunggal.
Philips
et al. (2004) dalam mengansumsikan bahwa manajemen laba yang
berusaha memaksimalkan laba tanpa meningkatkan biaya terkait perpajakan, tidak
mempunyai dampak pada laba menurut perpajakan, sehingga tidak akan mempengaruhi
tax carryforward. Hal yang sama juga
terkait dengan unrealized gains and loses
from securities. Selanjutnya, komponen valuation
allowance account, yang merupakan metode pencadangan aset pajak tangguhan
perusahaan, tidak diwajibkan oleh PSAK 46, maka komponen tersebut tidak relevan
untuk digunakan dalam perusahaan-perusahaan yang berada di Indonesia. Dengan
alasan tersebut, penelitian ini hanya menggunakan 5 komponen tersebut.
Perubahan
lapisan kena pajak dan tarif pajak dari
progresif menjadi tunggal dapat menjadi peluang bagi manajemen dalam
melakukan perekayasaan laba atau manajemen laba. Oleh karena itu, penelitian
ini juga mengambil hipotesis :
H3 : Ada
perbedaan tingkat beban pajak tangguhan, akrual, dan komponen pembentuk pajak tangguhan dalam mendeteksi
manajemen laba untuk menghindari kerugian saat penerapan tarif pajak progresif
dan tunggal
Menurut Watts
dan Zimmerman (1986) perusahaan besar lebih cenderung untuk melakukan manajemen
laba daripada perusahaan perusahaan kecil. Perusahaan besar melakukan manajemen
laba agar laba yang dilaporkan dapat menunjukkan hasil yang stabil atau
mengalami kenaikan terus menerus agar sesuai dengan tuntutan dan harapan
publik atau stakeholders.
Model Penelitian
Pengujian hipotesis 1 dengan model
regresi logistik adalah sebagai berikut:
Keterangan :
= 1 jika perusahaan berada dalam range small profit firms
0 jika perusahaan berada dalam range small loss firms
= Deferred
Tax Expense (Beban Pajak Tangguhan) perusahaan i pada tahun t, dibagi
dengan total aset pada akhir tahun t-1
= Ukuran
Akrual perusahaan berdasarkan model Modified
Jones.
= Ukuran
Perusahaan yang diukur dengan logaritma natural dari nilai total aset perusahaan i pada
tahun t
= Error Item
Selanjutnya model penelitian untuk
menguji hipotesis 2 adalah sebagai berikut:
Keterangan
:
= 1
jika perusahaan
berada dalam range small profit firms
0
jika perusahaan
berada dalam range small loss firms
= Deferred Tax Expense terkait akrual dan pencadangan.
= Deferred
Tax Expense terkait kompensasi.
= Deferred
tax Expense terkait metode depresiasi.
= Deferred tax Expense terkait penilaian aset
lainnya.
= Deferred Tax Expense tidak termasuk
dalam kategori di atas, dan tidak termasuk tax
carryforward, unrelized gains, & losses.
= Ukuran Perusahaan yang diukur dengan logaritma
natural dari nilai total aset perusahaan i pada tahun t
= Error Item
A.
Metodologi
Penelitian
1.
Populasi
dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini
adalah seluruh perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
selama periode 2006 -2011. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling. Kriteria yang
digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah (a) Semua perusahaan
manufaktur yang terdaftar di BEI dan
mempublikasikan laporan keuangan yang berakhir setiap tanggal 31 Desember dari tahun 2006-2011(b) Perusahaan
emiten tersebut tidak melakukan merger, akuisisi, dan perubahan usaha lainnya (divestitures) selama tahun 2006-2011 (c)
Laporan keuangan menggunakan satuan mata uang Indonesia.
Data yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan data kuantitaf yang terdiri dari total aset, piutang,
aset (kewajiban) pajak tangguhan, laba bersih sebelum pos luar biasa, pos luar
biasa, aset tetap, arus kas, pendapatan , beban pajak tangguhan dan komponen
pembentuk pajak tangguhan yang terdiri atas (1) akrual dan pencadangan atas
pendapatan dan beban (2) kompensasi (3) depresiasi (4) penilaian aset lainnya
dan (5) poin lain-lain. Selain itu juga diperlukan data mengenai jumlah saham
yang beredar dan harga saham akhir tahun. Data tersebut diperoleh melalui ICMD,
www.idx.co.id dan Annual Report untuk masing-masing
perusahaan.
2